Geopark (Taman Bumi) merupakan suatu konsep menejemen pengembangan kawasan secara berkelanjutan yang memadu serasikan tiga keragaman alam yaitu keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity) yang bertujuan untuk pembangunan serta pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada asas perlindungan (konservasi) terhadap ketiga keragaman ini.
16 Geosite Toba Caldera
Keterhubungan Geo-Bio-Culture
Ulos
Ulos adalah kain tenun khas Batak yang dibuat oleh kaum perempuan. Bahan dasar benangnya berasal dari serat buah kapas yang pohonnya ditanam di atas lahan yang unsur-unsur mineralnya berasal dari empat letusan yang membentuk Kaldera Toba, terutama pada wilayah lembah yang terbentuk karena runtuhan, lapukan atau sedimentasi dari dinding kaldera. Benang kapas itu kemudian diwarnai dengan getah berbagai tumbuhan dari kelompok semak dan kulit kayu yang tumbuh secara alami di kawasan hasil empat erupsi dengan tingkat kesuburan yang berbeda. Di antaranya indigofera, kunyit, kulit kayu mahoni, jior, salaon, dan ingul. Tumbuh-tumbuhan ini menghasilkan warna-warna pokok bagi masyarakat Batak, yaitu merah, hitam, dan putih.
Kaum perempuan masyarakat Batak kemudian memintal benang dan mengekstrak warna dari berbagai tumbuhan itu menjadi kain yang berkualitas tinggi serta mengandung motif-motif yang memiliki makna sesuai alam pikiran dan kebudayaan mereka. Biasanya, ulos ditenun untuk tujuan yang berkaitan dengan ritus sepanjang hidup. Misalnya ulos untuk bayi yang baru lahir, perempuan yang menikah, memasuki rumah baru, upacara kematian (siluluton), dan lain-lain.
Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti kubur yang terbuat dari batu. Perangkat ini dibuat oleh masyarakat pada era Megalitikum. Pada umumnya bentuknya persegi panjang dengan ukuran panjang antara 150-300 cm, dan lebarnya 100-180 cm. Sarkofagus dipahat dari satu batu utuh. Dalam bahasa Batak disebut sebagai ”batu sada”.
Batu tersebut dipahat selama berbulan-bulan hingga mendapatkan bentuk yang sesuai untuk sebuah peti. Peti sarkofagus terdiri dari dua keping, yakni wadah dan tutup yang memiliki tonjolan di ujung-ujungnya. Permukaan luar sarkofagus cukup bervariasi. Ada yang amat sederhana, tanpa hiasan dan ukiran, yang beradsal dari era yang lebih tua. Sedang sebagian lain ditemukan dengan wujud yang lebih canggih dan berseni. Misalnya dipahat dengan model rupa manusia atau totem hewan-hewan tertentu.
Fungsi sarkofagus bagi masyarakat kuno (asli) tersebut ialah sebagai “perahu roh” yang dianggap bisa mengantarkan jiwa seseorang yang sudah meninggal menuju alam yang baru. Dengan disimpannya jasad utuh seseorang yang sudah meninggal ke dalam sarkofagus, maka diyakini tubuh yang sama akan hidup kembali dengan bahagia di alam yang baru.
Tidak semua orang akan dikubur dalam sarkofagus. Hanya tokoh-tokoh tertentu yang akan mendapat kehormatan untuk dimakamkan dalam kubur batu. Mereka biasanya adalah dari golongan para raja, para bangsawan, pejabat istana, kepala suku, dan seterusnya.
Di Indonesia wilayah persebaran peradaban sarkofagus ternyata cukup luas, yakni meliputi Bali, Tapanuli, Sumba, Minahasa, dan Bondowoso di Jawa Timur.
Di Tapanuli, untuk pertama kalinya sarkofagus dilaporkan oleh Burton dan Ward pada tahun 1821. Mereka berdua adalah pendeta Babtis yang berasal dari Inggris. Sarkofagus yang mereka kunjungi terdapat di Tanggo Na Godang (Parbubu), lebih kurang 4 km di bagian Selatan Tarutung.
Sebelum agama Kristen berkembang di Tapanuli, sarkofagus tersebar hampir di seluruh Tanah Batak, meliputi Samosir, Toba, Silindung, dan Humbang. Pada saat ini jumlah sarkofagus yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 50 unit saja. Dan lebih dari setengahnya terdapat di Samosir.
Bukan kebetulan kalau banyak sarkofagus ditemukan di Samosir, seperti di komplek makam Raja Sidabutar Tomok, Siallagan, Huta Raja, dan lain-lain. Tempat-tempat ini ternyata kaya sumber bahan baku sarkofagus.
Letusan Toba Purba 74.000 tahun yang lampau telah memuntahkan jutaan kubik batu andesit ke permukaan wilayah Kaldera Toba pada hari ini.
Bersamaan dengan munculnya deposit batuan andesit tersebut maka tumbuhlah satu peradaban megalitikum di Tanah Batak, yang jejak-jejaknya masih bisa disaksikan hingga kini.
Tempayan Batu
Tempayan adalah satu istilah yang merujuk pada bejana bulat yang secara umum dibuat dari tanah liat. Tempayan dalam banyak peradaban dipakai sebagai tempat penyimpan benda-benda tertentu. Bisa air, biji -bijian, makanan, dan sebagainya.
Namun pada masyarakat tertentu, tempayan juga bisa dipakai sebagai tempat kubur sisa tulang belulang manusia. Ini terjadi pada masyarakat Batak kuno.
Tempayan batu tersebut bentuknya silindris. Ia terdiri dari dua bagian, yakni bagian wadah untuk tempat penyimpanan sisa-sisa tulang dan bagian tutup. Bahan baku tempayan batu ini terbuat dari batuan tufa dan batuan pasir. Dua jenis bebatuan tersebut adalah sisa-sisa dari letusan Gunung Toba purba pada 74.000 tahun yang lampau.
Sebagaimana sarkofagus, tempayan batu ini berfungsi sebagai kuburan sekunder (tempat penyimpanan sisa jenazah atau kerangka). Tinggi tempayan batu berkisar antara 70-165 cm. Diameter tengahnya antara 130-150 cm. Sedang diameter bawahnya sekitar 40-50 cm. Permukaan luar tempayan batu tergolong rata dan halus. Tempayan batu ini banyak ditemukan di daerah Samosir, terutama di Kecamatan Simanindo, Onan Runggu, Palipi, dan Kecamatan Pangururan.
Sebagian besar temuan tempayan batu tersebut terlihat polos tanpa hiasan. Namun ada satu tempayan batu dari Desa Tolping,
Kecamatan Simanindo, ternyata memiliki hiasan dengan motif geometris yang berpadu dengan motif flora dan gambar figur manusia serta hewan. Selain itu juga terdapat tempayan batu yang bagian tutupnya berbentuk kepala manusia.
Sebagian tempayan batu tersebut untungnya masih berada pada tempat aslinya. Belum diintervensi oleh manusia. Pada umumnya bagian bawah diletakkan di bawah tanah. Jadi yang terlihat hanyalah bagian tutupnya saja. Contohnya seperti yang kita saksikan di Desa Buttu Raja, Banjar Tonga-tonga, Kecamatan Nainggolan.
Sayangnya saat ini banyak juga tempayan batu yang sudah berpindah lokasi. Sebagian telah dipindahkan orang atau keluarganya, digabungkan dengan bangunan semen atau tembok moderen. Namun ada jenis tempayan batu yang sifatnya statis dan mengandung unsur mitologi seperti Batu Hobon di Pusuk Buhit dan Batu Siungkap-ungkapon di Bakkara.
Sihali Aek
Pemukiman tradisional Batak di wilayah Kaldera Toba ditandai dengan lahan-lahan pertanian yang berbatu dengan permukaan tanah yang umumnya tipis. Dengan memanfaatkan mata air yang berasal dari dinding kaldera serta mineral hasil letusan Toba Purba, masyarakat lokal menyelenggarakan pertanian padi untuk memenuhi makanan pokok dan sumber ekonomi keluarga. Apalagi, material letusan vulkanik sangat kaya dengan nutrisi seperti sulfur, phosphorus, magnesium, potassium dan besi, yang ternyata cocok untuk pertanian yang menghasilkan biji-bijian seperti padi, kemiri dan tanaman muda seperti bawang.
Untuk itu, mereka mengembangkan teknik penanaman di antara batu dan memanfaatkan material yang berasal dari perut bumi itu sebagai pembentuk terasering atau pemandu air. Karena pentingnya air bagi pertanian sawah, masyarakat lokal menciptakan teknik dan pengorganisasian yang unik agar air dapat terdistribusi dengan baik ke semua lahan sawah.
Di Tipang, Humbang Hasundutan, misalnya, air terjun yang jatuh pada kecuraman dinding kaldera menjadi inspirasi bagi pembuatan sumber irigasi tradisional bagi masyarakat Tipang dan menjadi dasar bagi terbentuknya terasering Sibara-bara. Dari tantangan alam ini, masyarakat tradisional menghasilkan tata kelola air yang disebut “sihali aek”.
Semangat dari sihali aek adalah pembagian kerja secara marsirimpa (gotong royong) yang melibatkan tujuh marga. Tradisi ini diawali dengan ritual perkalaan dan ditutup dengan persembahan syukur kepada Mulajadi Nabolon (Sang Maha Kuasa), leluhur, dan tetua. Dilaksanakan sekali setahun, sihali aek bertujuan agar proses bercocok tanam padi berjalan dengan baik, yang meliputi kesehatan warga, pengairan yang lancar, terhindar dari hama/penyakit, dan hasil panen yang meningkat.
Harbangan
Batu pasir yang dimuntahkan oleh letusan Toba Purba 74.000 tahun yang lalu menimbulkan gagasan bagi masyarakat Batak di Kaldera Toba untuk menciptakan suatu metode perlindungan kampung dengan membangun pagar batu. Tanpa perekat, batu-batu pasir itu disusun sedemikian rupa hingga menutupi empat sisi pemukiman, dan hanya menyisakan satu akses keluar masuk di bagian depan selebar ukuran manusia dan seekor kerbau.
Mereka menyebut gerbang keluar masuk ini dengan harbangan. Pada bagian ini, susunan batu akan dibuat lebih tebal dan tinggi. Di situs perkampungan Tipang, ketinggian benteng batu itu mencapai kurang lebih dua meter. Susunan batu tersebut diperkuat dengan tanaman bambu yang tumbuh di atasnya. Lama kelamaan, akar bambu mengikat bebatuan dan menjadikan susunan itu semakin solid. Pada bagian tertentu, mereka memperkuatnya dengan tanaman beringin (hariara dan jabi-jabi). Umumnya, panjang benteng batu itu bisa mencapai 110 meter dengan lebar sekitar 80 meter. Di dalamnya berdiri dua baris rumah yang saling berhadapan, dimana bagian tengahnya merupakan area publik atau tempat beraktivitas secara kolektif di kala senjang.
Situs harbangan masih dapat dijumpai antara lain di Tipang, Pulau Sibandang, dan Samosir.
Video Terkini