GEOSITE BALIGE - LIANG SIPEGE - BATU BASIHA - MEAT
Berlokasi di zona Selatan Kaldera Toba, Geosite Balige-Liang Sipege-Meat merepresentasikan karakteristik geologi pasca-erupsi supervulkanik yang terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. Bentang kawasan ini dicirikan dengan keberadaan produk piroklastik seperti tufa dan breksi vulkanik, serta struktur geologi aktif berupa sesar normal dan morfologi kaldera yang kompleks.
Aspek Geologi
Berlokasi di zona Selatan Kaldera Toba, Geosite Balige-Liang Sipege-Meat merepresentasikan karakteristik geologi pasca-erupsi supervulkanik yang terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. Bentang kawasan ini dicirikan dengan keberadaan produk piroklastik seperti tufa dan breksi vulkanik, serta struktur geologi aktif berupa sesar normal dan morfologi kaldera yang kompleks. Kombinasi antara endapan vulkanik, aktivitas tektonik, dan erosi, menciptakan formasi-formasi yang unik seperti fenomena gua alami di Liang Sipege, batu yang mirip kayu terbakar di Batu Basiha, serta ekosistem hayatinya yang didominasi pinus, perdu dan semak.
Liang Sipege memiliki keindahan mosaik dinding yang terbentuk secara alami melalui proses pelapukan dan erosi yang panjang dari dinding Kaldera Porsea. Kaldera ini terbentuk akibat amblasan pasca erupsi supervulkanik gunung api purba. Dinding Kaldera Porsea tersusun oleh batu kapur. Air hujan yang mengalir di daerah ini secara bertahap melarutkan dan mengikis batu kapur melalui proses kimiawi dan mekanis. Proses pelarutan dan pengikisan ini terus berlanjut hingga akhirnya terbentuk lubang atau gua di dinding batu kapur, yang kemudian dikenal sebagai Liang Sipege.
Aspek Budaya
Masyarakat setempat meyakini bahwa Liang Sipege adalah bekas tempat bertapa atau tempat persembunyian leluhur mereka. Cerita turun-temurun di tengah masyarakat mengisahkan bahwa gua ini merupakan asal-usul leluhur marga Panjaitan yang dibuang semasa dalam kandungan Ibunya. Ibunya diasingkan karena tidak kunjung melahirkan setelah hamil lebih dari sembilan bulan. Kondisi itu dianggap aib bagi masyarakat pada saat itu. Sang leluhur Panjaitan bernama Si Lundu Ni Pahu (yang dibesarkan oleh tanaman pakis) akhirnya lahir di Liang Sipege, yang kemudian tumbuh menjadi pemuda yang cerdas dan tangkas. Kelak dia dikenal sebagai Raja Sijorat Paraliman Panjaitan.
Di kemudian hari, gua yang beberapa lorongnya belum sepenuhnya dapat ditelusuri dan merupakan koloni kelelawar ini dijadikan sebagai tempat mencari kekuatan spiritual oleh para raja dan tokoh adat setempat. Sampai hari ini, para pengunjung masih selalu menemukan semacam persembahan atau sesajen di altar batu yang sengaja dibuat untuk tujuan itu tersebut.
Sedangkan Batu Basiha adalah bentukan dari proses geologis akibat pendinginan magma, yaitu lava yang mengalir dari letusan gunung purba di Kaldera Porsea. Setelah membeku, magma ini kemudian membentuk struktur kekar kolom, yang merupakan karakteristik utama dari batuan jenis andesit ini. Kolom-kolom alami berukuran besar itu terlihat menyerupai garis-garis fosil kayu. Selama proses pendinginan, magma mengalami kontraksi dan retak secara teratur, sehingga membentuk struktur kolom-kolom vertikal yang besar dan khas. Andesit ini adalah jenis batuan vulkanik yang terbentuk dari magma yang kaya silika.
Dari sisi ekologi budaya masyarakat lokal, formasi Batu Basiha berasal dari legenda kayu besar yang disambar petir hingga terbakar, kering dan mati. Belakangan, masyarakat menyebutkan bahwa kata ‘basiha’ merupakan akronim dari “batu sian hau” (batu yang berasal dari kayu), yang akhirnya memberikan makna kearifan lokal bagi tujuan pelestarian lingkungan.
Alkisah, sekelompok orang di masa dahulu pernah bermaksud membangun rumah dan pemukiman di kawasan ini dengan memotong pohon-pohon besar. Secara ajaib seekor harimau muncul dan memberikan peringatan kepada mereka tentang larangan untuk menebang kayu dan membangun rumah di sini. Tapi mereka mengabaikan peringatan itu, sehingga petir sekonyong-konyong menyambar pohon dan membuatnya berubah jadi batu. Sejak itu, tidak seorang pun berani menebang kayu dan membangun rumah di sini.
Batu Basiha selanjutnya dimanfaatkan sebagai tempat bermusyawarah atau mengambil keputusan penting karena masyarakat percaya bahwa roh leluhur hadir di sekitar batu ini dalam jelmaan harimau untuk memberi pertanda atau nasihat mengenai segala persoalan yang mereka hadapi. Keberadaannya mengandung kearifan lokal tentang nilai konservasi dan pentingnya arti musyawarah bagi kehidupan kolektif masyarakat Batak dalam mengambil setiap keputusan.
Adapun Balige, kota ini merupakan salah satu jantung peradaban Toba. Di kota ini terdapat sejumlah warisan kolonial, berbagai tinggalan budaya, dan Museum Batak TB Silalahi yang memiliki koleksi terlengkap mengenai kebudayaan yang dihasilkan masyarakat kaldera. Mengunjungi Balige seperti membaca kitab besar tentang Toba, di mana setiap lembah, batu, dan guanya menyimpan cerita yang tak pernah habis untuk dijelajahi.
Hutagaol Peatalun, Kec. Balige, Toba, Sumatera Utara 22312